34ºc, Sunny
Halo... Berita hari ini 14-Dec-2025 7:21:02
KEPULAUAN RIAU- Jauh sebelum kita mengenal dan memperkenalkan istilah “Ekonomi Biru (Ekonomi Biru)”, secara praktik Indonesia telah menerapkan pemanfaatan laut sebagai pusat jalur perputaran ekonomi, salah satunya yakni melalui pedagangan laut yang sudah beraktivitas sejak abad ke 5 masehi.
Konsep Blue Economy yang diterapkan oleh Indonesia sejak awal tahun 2000-an ini, tidak semerta-merta karena munculnya kesadaran akan potensi pemanfaatan sumber daya laut, namun lebih cenderung pada kesadaran akan kerentanan pembangunan ekonomi yang mulai menyurut dan kehilangan arah.
Gunter Pauli yang memperkuat argumentasi dan penyiaran terhadap pemanfaatan sumber daya laut melalui bukunya yang berjudul “The Blue Economy: 10 Years, 100 Innovations, 100 Million Jobs” pada tahun 2010, sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dalam periode program Millennium Development Goals (MDGs) yang dimulai pada tahun 2000 dan berakhir pada tahun 2015, menjadi peluang bagi dunia terutama negara-negara anggota PBB untuk juga serta dalam potensi sumber daya laut mereka untuk dimanfaatkan sebagai sumber ekonomi, termasuk pula Indonesia dalam berbagai sektor dan aspek kelautan, perairan dan perikanan.
Tidak hanya sampai disitu, Konsep Ekonomi Biru juga berbicara tentang misi besar dunia untuk menyelamatkan dan menjaga keseimbangan alam baik pemeliharaan, penyelamatan termasuk mitigasi perubahan iklim, keanekaragaman hayati laut dan lain sebagainya.
Konsep praktik ekonomi biru saat ini membawa kita sekaligus akan satu keadaan besar yakni “Krisis Iklim dan Krisis ekonomi”. Dan satu pemakluman yakni munculnya kepentingan-kepentingan sektoral elit dalam pengembangan Ekonomi Biru.
Penyusunan Road Map Blue Economy Indonesia 2023-2045 memiliki tujuan untuk mengkonsolidasikan kebijakan, program, dan kegiatan yang didukung oleh seluruh pemangku kepentingan dan memberikan panduan untuk mewujudkan ekonomi laut yang berkelanjutan (dk).
Bappenas dalam RMBE Menyebutkan pengembangan ekonomi biru di Indonesia yang dipandu dengan visi “Sumber daya pesisir dan laut kita yang beragam dikelola secara berkelanjutan melalui ekonomi biru yang berbasis pengetahuan untuk menciptakan kesejahteraan sosial ekonomi, memastikan lingkungan laut yang sehat, dan memperkuat ketahanan untuk kepentingan generasi sekarang dan masa depan” (dk).
Meski pahitnya harus kita akui dan sadari bersama, hingga hari ini laut menjadi satu-satunya jalur teraman dan termudah di dunia dalam menjalankan aktivitas ilegal yang berdampak pada bendungan lingkungan termasuk perkembangan ekonomi. Jalur laut termasuk pula ekonomi biru adalah cerminan dari skema bisnis yang besar.
Disisi lain, tambang sumber daya laut semakin marak dimana-mana, perizinan dipermudah tanpa komitmen pengembalian alam laut, nelayan tradisional mulai bertahan hidup seadanya dan laut-laut sudah di kaveling-kavelingkan. Ini hanya beberapa diantara banyaknya "akibat" dari misi Blue Economy Indonesia.
Skema Indonesia yang disebut sebagai "Negara Kepulauan" adalah suatu upaya untuk menunjukkan identitas wilayah, bukan sebenar-benarnya negara kepulauan secara harfiah.
Pertanyaannya, seberapa besarkah komitmen negara menjalankan Ekonomi Biru? Sedangkan misi Blue Economy pada akhirnya banyak yang berbenturan dengan kemampuan, keberdayaan dan kepentingan pesisir masyarakat?
Selain itu, rumitnya urusan sumber daya laut ini, harusnya negara dapat mendorong kebutuhan para peneliti Indonesia untuk menggali, mendalami dan menemukan potensi baru yang terbarukan melalui kajian dan penelitian, baik itu fasilitas maupun anggaran.
Dapat kita bayangkan begitu besarnya visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia melalui salah satu misi yakni Blue Economy, yang sejak tahun 2012 negara kian meningkatkan kebijakan inovasi terbarunya. Di sisi lain, kemampuan negara untuk melakukan penelitian masih sangat minim.
Kocaknya, kita selalu maju dengan negara maju. Latah kebijakan, latah teknologi, latah pembangunan dll. Pada akhirnya, negara maju mereka berinovasi, kita masih bermimpi" _Pesan Emak_
Hingga saat ini, sumber daya laut yang baru dapat dimanfaatkan dengan baik dan memperoleh kemajuan serta kebermanfaatan yang tampak, hanyalah permukaan laut. Sedangkan bawah laut, tengah laut maupun dasar laut, masih jauh dalam jangkauan negar.
Lucunya, para peneliti yang selalu fokus dan idealis pada penelitian dan kajian untuk memperoleh hasil-hasil temuan terbaru, para aktivis lingkungan dengan independensinya memperjuangkan hak-hak lingkungan, sedangkan negara fokus pada bagaimana menutup kenyataan hasil kajian dan penelitian dan aspirasi dampak lingkungan laut. Melalui apa? Kebijakan-kebijakan politik negara yang menguntungkan pihak lain.
Laut harus dijaga dengan "tambang". Masyarakat pesisir harus disejahterakan dengan "penangkapan ikan terukur". Cuaca dan perubahan iklim harus diatasi dengan "gas emisi karbon" dan sebagainya.
Ini potret yang nyata skema nyang dijalan negara saat ini. Sentimen Maritim yang harus disampaikan yakni, “Negara akan terus dengan kekayaannya, sedang rakyat akan terus dengan perumahannya” jika pola dan skema Blue Economy tetap berorientasi pada kepentingan Ekonomi Sektoral. (*)
Oleh: Edi Putra